CBD

Pages

Celepouuuk Bali Driver

Banyak Landing page diluar sana yang lebih bagus

Ini adalah heading

Sedangkan ini adalah paragraf yang bisa diisi dengan teks yang bisa dimengerti oleh manusia.

Ini adalah heading

Sedangkan ini adalah paragraf yang bisa diisi dengan teks yang bisa dimengerti oleh manusia.

Ini adalah heading

Sedangkan ini adalah paragraf yang bisa diisi dengan teks yang bisa dimengerti oleh manusia.

by Satria Mahendra
Sebenarnya saya sudah agak malas menulis soal transportasi online. Karena sebelumnya saya mengira pemerintah/otoritas terkait tidak paham wujud asli dari startup2 transportasi online (dan juga e-commerce) yg sejatinya mirip2 skema ponzi (menggunakan uang investor kedua untuk membayar keuntungan investor pertama, lalu menggunakan uang investor ketiga untuk membayar keuntungan investor kedua, dst. Detailnya pernah saya tulis satu setengah tahun yg lalu disini: https://www.facebook.com/satria.mahendra/…/10153669779028172) Tapi ternyata pemerintah tahu nature bisnis aslinya memang seperti itu. Sayangnya pemerintah malah mendukung dengan alasan mengembangkan ekonomi kreatif, inovasi teknologi, dsb. (https://kominfo.go.id/…/pemerintah-optimist…/0/sorotan_media).
Pemerintah dalam hal ini Kemkominfo tahu soal strategi exit melalui bursa saham, bahkan mendukung strategi exit tsb. Pemerintah bahkan mempermudah persyaratan startup untuk melantai di bursa. Jika perusahaan lain umumnya harus menyerahkan laporan keuangan 3 tahun terakhir, untuk startup hanya 1 tahun terakhir. Inilah yg bikin saya mulai malas membahas soal startup model begini. Karena Pemerintah yg saya harapkan dapat menjinakkan bom waktu yg suatu saat akan meledak ini, malah membiarkan bahkan merawat bom itu.
Namun berhubung di beberapa daerah (Jabar, Banyumas, Magelang, Batam, Yogya, Solo, Garut, Pekanbaru, Makassar, Medan, dan Tasikmalaya) Pemdanya justru melarang keberadaan transportasi online, membuat saya sedikit bersemangat untuk kembali menulis soal ini. Karena saya melihat, solusi yg diberikan oleh Pemda berupa pelarangan kurang tepat juga. Karena permasalahan sebenarnya dari transportasi online itu bukan pada keberadaannya, ataupun pada teknologi yg dipakai. Sekarang kan terkesan Pemda2 itu anti kemajuan teknologi, dianggap mundur kebelakang pemikirannya, padahal zaman makin maju. Kemajuan teknologi tidak mungkin dapat dibendung. Kitalah yg harus beradaptasi jika tidak mau digilas.
Mengatakan pemda2 tsb sebagai kolot, terbelakang, anti kemajuan teknologi dsb, hanya karena melarang keberadaan transportasi online sangatlah tidak tepat. Karena di beberapa negara maju pun terjadi pelarangan transportasi online seperti di beberapa kota di AS dan Kanada, Bulgaria, Denmark, Hungaria, Italia, Perancis, Spanyol, Belanda, Taiwan, Northern Territory - Australia, London-UK, dll (https://www.cntraveler.com/…/where-uber-is-banned-around-th…http://www.news.com.au/…/n…/6dd3b48128316372a016379ad0437bf1)
Apakah mereka akan kita sebut kolot juga? Tentu tidak. Bahkan negara2 tersebut jauh lebih maju daripada kita. Lalu mengapa mereka melarangnya? Karena memang ada permasalahan mendasar yg membuat keberadaan transportasi online tersebut menyulut konflik horizontal dengan transportasi konvensional.
Permasalahan tersebut terletak bukan pada teknologinya namun pada SUBSIDI yang dijadikan strategi perusahaan transportasi online untuk merebut pangsa pasar transportasi konvensional.
SUBSIDI TARIF
Mungkin banyak orang yang tidak tahu mengapa tarif transportasi online bisa sangat murah dibandingkan transportasi konvensional. Ada juga sebagian yang berpendapat karena sharing economy yg membuat cost dapat ditekan sehingga harga menjadi murah. Namun faktanya bukan sharing economy yg membuat tarif mereka murah, melainkan SUBSIDI DRIVER (atau Subsidi Penumpang, tergantung sudut pandangnya).
Sebagai ilustrasi, jika anda membayar Rp.2500/km bukan berarti sejumlah itu pula yg didapat oleh driver. Driver sebenarnya mendapatkan Rp.4000/km (diluar bonus). Rp.2500 dari uang anda, Rp.1500nya dikreditkan oleh perusahaan ke rekening Driver. Inilah yg disebut SUBSIDI.
SUBSIDI inilah yg sebenarnya menggerakkan roda perusahaan transportasi online. Tanpa Subsidi, tarif mereka tidak akan murah karena driver pasti tidak mau dibayar murah. Sebaliknya jika tarif mahal, maka penumpang akan sepi.
Jadi SUBSIDI inilah yg sebenarnya menjadi biang masalah antara Transportasi Online dan Konvensional yg tidak mungkin memberikan subsidi karena itu sama artinya perusahaan merugi. Sedangkan perusahaan Transportasi Online, meskipun merugi, tapi mereka tidak ambil pusing selama suntikan modal dari venture capital/investor terus mengalir. Inilah yg disebut dengan Bakar-Bakar Uang. Istilah ini bukan karangan saya, tapi memang istilah resmi yg dipakai, bahkan salah satu parameter keberhasilan startup dimata investor adalah tingginya BURNING RATE.
Mungkin ada yg bertanya, darimana perusahaan transportasi online dapat untung jika mereka hanya bakar2 uang? Sebagaimana startup lainnya mereka akan mendapat untung setelah menjual perusahaannya kepada perusahaan lain (akuisisi) atau menjual sahamnya di bursa. "Tapi kan itu perusahaan merugi, emang ada yg mau beli?" Percaya tidak percaya, jawabannya ADA. Di bursa saham apalagi. Saya banyak menjumpai perusahaan yg merugi tiga tahun berturut namun bisa masuk bursa (IPO), dan luarbiasanya harga sahamnya langsung melejit hingga ribuan persen. Bahkan yang terbaru ada Startup KIOSON, startup pertama yg melantai di BEI, harga sahamnya sudah naik 1000% (atau sepuluh kali lipat) dari harga perdananya, hanya dalam waktu kurang dari 3 minggu. Dan sekarang masih terus naik. Padahal sejak berdiri 2015 dia merugi setiap tahun.
Jangan tanyakan pada saya mengapa ada orang yang mau membeli perusahaan yg tiga tahun merugi. Silahkan anda lihat fenomena demam anturium, arwana, batu akik, dsb., maka anda akan tahu jawabannya: GREED. Walaupun tidak menutup kemungkinan perusahaan yg sekarang merugi akan mencetak profit beberapa tahun yang akan datang, sehingga inilah yang menarik minat investor untuk berinvestasi di perusahaan yg sedang merugi. Namun bukan berarti tidak ada orang yg beli perusahaan tsb karena dilandasi faktor GREED semata, bahkan jika para trader saham mau jujur maka mereka akan menjawab bahwa motivasi utama mereka melakukan trading saham adalah karena faktor tsb.
Kembali ke soal SUBSIDI
UBER sebagai perusahaan transportasi Online terbesar di dunia, pada paruh pertama 2016 menghabiskan $1,27 Miliar (setara Rp 16,51 Triliun) hanya untuk SUBSIDI. (http://www.hybridcars.com/uber-loses-1-27-billion-as-drive…/)
GOJEK selama periode Oktober 2015-Maret 2016 menghabiskan $72,6 Juta (atau Rp943,8 Miliar) untuk SUBSIDI. (https://www.techinasia.com/gojeks-numbers-leaked)
Angka diatas hanya untuk periode 6 bulan. Bayangkan berapa banyak yg mereka habiskan untuk subsidi selama berapa tahun mereka telah beroperasi. Dan keduanya sampai sekarang masih membukukan laporan keuangan negatif alias merugi.
Sekarang mari kita pikirkan, mampukah perusahaan transportasi konvensional bersaing head to head dengan mereka jika mereka sendiri sanggup menanggung kerugian ratusan milyar hingga triliunan rupiah? Perusahaan transportasi konvensional mana yg siap menanggung kerugian sebesar itu demi mengalahkan transportasi online?
Jadi jangan pakai dalih "sharing economy", "disruptive innovation", "Adapt or Die", dan istilah2 "keren" lainnya. Karena bukan itu yg membuat GOJEK, UBER, GRAB mampu merebut pangsa pasar dari transportasi Konvensional. Mereka berhasil mencapai apa yg mereka capai sekarang semata2 karena mereka mampu bakar uang triliunan rupiah! TITIK.
BOM WAKTU
Sopir transportasi konvensional, Sopir transportasi online, dan para penumpang/masyarakat, semuanya adalah KORBAN (atau akan menjadi korban) dari ledakan bom waktu model bisnis transportasi online yg demikian.
Mengapa saya katakan begitu?
Mari kita prediksi apa yang akan terjadi di masa yang akan datang jika hal ini dibiarkan.
Pertama, angkutan konvensional akan bangkrut. Banyak sopir yg kehilangan sumber nafkah beserta keluarganya yg kehilangan sumber makan. Bukan karena mereka tidak mampu bersaing secara alami, namun karena diluar sana ada pemodal berkantong super tebal yang sedang bakar-bakar uang.
Kedua, setelah angkutan konvensional berhasil disingkirkan, tinggallah transportasi online menguasai/memonopoli pasar. Saat itulah mereka mulai memikirkan how to make profit. Caranya? Cabut SUBSIDI. Tarif akan dinaikkan ke level yg menguntungkan bagi perusahaan. Dan karena tidak ada aturan yg membatasi berapa tarif maksimal yg bisa mereka tetapkan, maka suka2 mereka mau pasang tarif berapa. Bisa saja lebih mahal dari transportasi konvensional. Dampaknya... Masyarakat dirugikan. Mau naik transportasi konvensional tidak bisa karena sudah tidak ada atau minimal susah dicari karena sudah pada bangkrut.
Bisa saja masyarakat menggunakan transportasi massal, tapi ini akan berdampak driver transportasi online kehilangan penumpang. Merekapun akhirnya dirugikan.
Jadi bagi anda yg sekarang merasa senang dengan keberadaan transportasi online bertarif murah itu, tunggulah masanya akan tiba dimana anda harus bayar mahal. Dan kepada driver online yg merasa pekerjaannya memberikan keamanan finansial, tunggulah waktunya ketika Subsidi anda dicabut.
SOLUSINYA
Sebenarnya solusi ini sudah pernah ada. Dulu sempat ada, sekarang tidak ada lagi. Apa itu? Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 26 Tahun 2017 yang didalamnya diatur soal batas bawah dan batas atas tarif transportasi online. Sayangnya Permenhub ini diuji materil ke MA oleh (katanya) para driver transportasi online. Mereka menolak adanya pembatasan tarif bawah!!
Bukankah ini aneh? Dimana2 pembatasan tarif bawah ditujukan untuk melindungi sopir agar tidak dibayar kemurahan oleh penumpangnya. Permenhub itu menetapkan tarif bawah Rp3500/km dan tarif atas Rp. 6000/km. Logikanya, para driver ini tidak ingin dibayar Rp. 3500, maunya mereka dibayar Rp 2500 atau bahkan Rp1.500. Aneh kan? Alasan penolakan mereka adalah penetapan batas bawah membuat mereka tidak bisa menetapkan harga yg lebih murah. Ini mereka katakan sendiri. (http://www.beritasatu.com/…/448528-ma-perintahkan-menhub-ca…).
Padahal, murahnya tarif online itu bukan karena cost yg murah, tapi karena SUBSIDI seperti yg telah diuraikan di atas. Makanya saya sendiri tidak yakin mereka itu menyuarakan aspirasi driver, tapi sepertinya mereka sedang menyuarakan aspirasi manajemen transportasi online yang ingin tetap merebut pangsa pasar transportasi dari perusahaan konvensional dengan cara bakar-bakar uang itu.
Sayangnya, MA mengabulkan gugatan tersebut!.
Saya yakin, di lapangan para driver yang sesungguhnya pasti akan lebih memilih dibayar Rp.3500 daripada Rp.2500. Selain ini sangat logis, ada bukti lainnya. Ketika beberapa waktu yg lalu manajemen Gojek memperbesar prosi bagi hasil utk perusahaan, banyak driver Gojek yg demo. Porsi mereka diperkecil aja mereka demo, maka tentu jika dikasih pilihan mau 3500 atau 2500, mereka pasti pilih yg pertama.
Sayangnya sekarang Driver Gojek tidak bisa demo lagi. Sudah dilarang sama manajemen. Barangsiapa yg demo, langsung dipecat! Ini ada dalam peraturan Gojek mengenai pelanggaran yg berakibat manual suspend no. 29 (https://driver.go-jek.com/…/115000020907-Jenis-jenis-Pelang…).
Buruh aja masih boleh mogok kerja, dan itu dilindungi UU. Driver Gojek malah demo aja gak boleh. Seperti itukah "Karya Anak Bangsa"?

image kompasiana

Dulu sempat terkagum-kagum dengan TAXI ONLINE, Bagaimana tidak cukup buka smart phone, pesan, TAXI ONLINE datang, dan hargapun sudah kita ketahui, murah pula.  Apalagi kehadiranya dibungkus dengan sharing economy

Browsing kemana2 cari info Apa sih sharing economy itu..?
Menurut Prof Rhenald Kasali  sharing economy adalah sebuah proses ekonomi yang dilakukan dengan pendekatan "sharing resources" sehingga pada akhirnya menciptakan economic value yang dapat dibagi pada para pihak. Sharing yang efisien dan partisipatif itulah yang akhirnya membuat harga lebih terjangkau bagi konsumen dan terjadi distribusi kesejahtehteraan yang lebih adil.
Ide sharing economy sendiri tidaklah baru. Sejak lama orang-orang memiliki kecenderungan berbagi dengan mereka yang dekat, seperti keluarga dan kerabat. Hanya saja, dua hal besar membuat ekonomi berbagi menjadi kembali mengemuka dan tersebar secara massif

  1. Karena kesadaran bahwa moda pembangunan selama ini telah membawa konsekuensi buruk bagi masyarakat dan lingkungan, sehingga ide keberlanjutan menjadi semakin kuat didukung.
  2. Karena perkembangan teknologi informasi memungkinkan berbagi sumberdaya dengan jauh lebih banyak orang, termasuk orang-orang baru yang memiliki perhatian yang serupa.

Pertanyaannya kemudian, apakah bentuk-bentuk bisnis yang sekarang dianggap sebagai contoh paling populer dari ekonomi berbagi seperti TAXOL bisa dianggap benar-benar sebagai bagian dari ekonomi berbagi dalam pengertian itu? Tampaknya tidak
Mengutip contoh-contoh yang kini paling mengemuka, Giana Eckhardt dan Fleura Bardhi menyatakan bahwa mereka itu bukanlah bagian dari ekonomi berbagi, melainkan lebih tepat disebut access economy atau ekonomi akses. Kedua profesor ekonomi dari Inggris itu menyatakan dengan tegas bahwa ekonomi berbagi adalah tentang bagaimana anggota masyarakat yang biasanya sudah saling mengenal—atau diperkenalkan oleh teknologi informasi—berbagi sumberdaya tanpa motif keuntungan, walau transaksi finansial tak haram sepenuhnya.
Ketika ada perusahaan menjadi perantara orang-orang yang tak saling mengenal untuk memanfaatkan sumberdaya pada kurun waktu tertentu dengan motif ekonomi utilitarian, bukan keberlanjutan, tak tepat lagi disebut sebagai ekonomi berbagi.

Dikutip dr Made Supriatma:
Dalam sharing ekonomi, pemilik modal adalah buruh sekaligus. Sekalipun dia memiliki modal, sekali dia memasuki sharing ekonomi dalam model seperti AirBnB, Uber, GrabCar, GoJek, dan lain-lain itu, dia TIDAK lagi berkuasa atas modalnya itu. Dia menjadi buruh atas modal miliknya sendiri itu.
Siapakah yang paling diuntungkan dalam sharing economy ini? Jika demikian duduk persoalannya maka jelas, perusahanlah yang diuntungkan. Pertama, perusahan tidak perlu menyediakan modal besar untuk berusaha. Mereka tidak perlu membeli mobil, atau motor, atau membangun hotel. Mereka hanya memanfaatkan apa yang 'mubazir' dalam sistem ekonomi.
Kedua, mereka tidak punya buruh. 'Klien' mereka ada dua. Klien yang pertama adalah pemilik modal. Klien kedua adalah pengguna barang/jasa. Mereka bisa mendapat 'fee' dari keduanya. Fungsi perusahan ini tidak lebih dari 'brokerage' (perantara).
Ketiga, karena mereka tidak memiliki buruh (punyanya pemodal) maka mereka tidak terikat dalam sistem hubungan perburuhan. Mereka tidak harus membayar asuransi kesehatan untuk buruhnya (kecuali karyawan kantornya); tidak perlu memberikan cuti (pemilik modal boleh bekerja kapan saja); tidak membayar pesangon karena tidak ada pemecatan (orang boleh datang dan pergi seenaknya); dan lain sebagainya.

Diartikel lain menulis , praktek Uber, Grab Car, Gojek dan Grab jauh dari dari prinsif sharing economy,
Yang namanya sharing economy tidak mengenal subsidi Venture Capital demi memurahkan harga hingga akhirnya mematikan saingan/kanibalisasi. Venture Capital adalah jenis kapitalisme global, jauh dari prinsip kerakyatan sharing economy..

Dari Berbagai Sumber
CBD dari awal termasuk yg antipati dgn taksi online. Tapi penolakan kami bukan karena mereka menggunakan teknologi. Bukan pula karena masalah mereka menyalahi perijinan, KIR, dsb. Penolakan CBD karena ada sesuatu yg UNNATURAL dalam praktik bisnis taksi online ini. Sesuatu yg UNNATURAL ini merupakan bom waktu yg cepat atau lambat akan MELEDAK.

Sayangnya, para stakeholder bisa dibilang gagal melihat sesuatu yg UNNATURAL ini. Ada yg melihatnya dari sudut pandang APLIKASI. Ada yg dari sudut pandang PERIJINAN. Ada juga yg dari sudut pandang REGULASI.

BUKAN ITU inti masalah Taxi online ini. 
Kalo soal aplikasi, maka taksi/ojek konvensional bisa juga pake aplikasi. Bahkan Bluebird dan Ekspress juga sudah menggunakan aplikasi. Tapi mengapa bom waktu ini tidak bisa di-nonaktifkan?
Kalo soal perijinan, maka andai taksi/ online clear urusan perijinannya, bom waktu ini akan tetap aktif.
Kalo soal regulasi, maka andai regulasi sudah mengakomodir taksi/ojek online, bom waktu ini akan tetap aktif.

Masalahnya BUKAN ITU.

Masalahnya adalah pada HARGA YG UNNATURAL
Biar gampang melihatnya, saya ibaratkan dengan pedagang bakso. Modal yg dibutuhkan utk 1 porsi bakso misalnya Rp.8000.
Biar dapat untung, dan pasti tukang bakso mau untung, karena tidak ada yg namanya dagang tapi tidak nyari untung, maka 1 porsi bakso dijual Rp.11.000. Ini NATURAL. Sesuai dgn hukum alam. Sesuai dgn prinsip ekonomi.

Tapi bagaimana jika tiba2 saya ikutan jual bakso tapi pakai aplikasi, dgn modal yg sama per porsi, tapi bakso saya jual Rp 4.000? Inilah yg saya sebut UNNATURAL. Tidak wajar!

Konsumen pasti dukung saya, karena harga saya murah banget. Konsumen pasti berpihak pada saya. Dan jika ada pedagang bakso lain protes, konsumen pasti akan mencibir pedagang bakso lainnya tadi. Saya dianggap jenius bisa memberikan harga murah bagi konsumen.
Tapi konsumen tidak salah. Sikap konsumen yg demikian masih NATURAL. Emang begitu hukum ekonomi.
Nah, pertanyaannya bagaimana caranya agar pedagang bakso saingan saya tetap bisa dapat untung, atau minimal tetap dapat pembeli? Apakah mereka harus pake aplikasi juga? Bisa saja mereka pakai aplikasi. Tapi mereka tidak mungkin jual dgn harga yg sama dgn saya (Rp. 4rb). Bukan itu solusinya.
Inilah masalah sebenarnya dari taksi/ojek online. Bukan soal aplikasi, bukan soal regulasi, dan bukan juga soal perijinan. Tapi soal harga yg tidak wajar. Harga ditetapkan di bawah cost produksi.
Sebenarnya pertanyaan berikutnya yg harus kita ajukan agar kita bisa mengidentifikasi apa penyebab sebenarnya dari sesuatu yg UNNATURAL ini adalah mengapa ada usaha yg bisa eksis dgn price di bawah cost? Bahkan salah satu ojek online pernah secara terang2an mengakui bahwa mereka masih merugi milyaran rupiah per bulannya. Dan itu pengakuan mereka tahun lalu. Sampai sekarang mereka tetap pasang tarif murah. Artinya, kemungkinan besar mereka pun masih merugi milyaran rupiah. Apakah ini NATURAL?
Wajar saja mereka bisa mengakuisisi pangsa pasar taksi/ojek tradisional, karena mereka tidak ambil pusing soal untung rugi! Beda dengan taksi/ojek konvensional yg tujuannya memang cari untung. Dan dari margin keuntungan itulah mereka dapat memberi makan keluarga mereka.
Pertanyaan berikutnya, darimana mereka mendapatkan dana untuk membiayai kerugian yg milyaran per bulan itu? Ternyata itu bukan dana mereka sendiri. Tapi katanya dari investor. Nah, yg namanya investor pasti motivasinya juga cari untung. Mana ada investor mau rugi. Kalo ada maka itu UNNATURAL.
Ada yg beralasan dgn mengatakan, itu ruginya di awal saja. Nanti setelah tahun ke sekian baru lah ada profitnya dan itu bisa saja terjadi setelah perusahaan merubah strategi usahanya. Dan ini wajar2 saja untuk bisnis2 yg baru mulai.
Betul. Bisnis yg baru mulai umumnya merugi dulu di awal. Tapi apakah benar pada tahun kesekian usaha2 UNNATURAL tsb akan merubah strateginya? Selain itu apakah sudah pasti akan untung setelah rubah strategi itu? Apalagi jika yg dimaksud strategi itu adalah bersaing dgn harga pasar. (Misal bakso dijual juga dgn harga 11rb?) Belum tentu.
Bersambung
Sumber : disini




Kami ibarat anak ayam mati di lumbung. Kiasan itu langsung muncul di pikiran saya setelah menyimak berita media akhir-akhir ini tentang razia untuk pemandu wisata lepas alias tour guide freelance. Razia, sweeping, entah apa lagi istilah lain yang dipakai aparat penegak aturan di pulau tercinta ini.
Para pemandu lepas dengan mobil tanpa izin pariwisata dirazia petugas. Mereka mendakwa mobil tanpa izin tidak boleh bawa tamu atau turis dalam perjalanan wisata di Bali. Sekilas tidak ada yang salah. Para aparat dengan baju dinas lengkap dan muka galak merazia guide freelance.
Tapi, pernahkah para aparat berpikir memberikan solusi tidak cuman sanksi. Memberikan jalan keluar, bukan cuma hukuman. Toh, mereka bukan penjahat yang harus dihakimi sampai ke meja hijau.
Sedih, kebanyakan para guide freelance adalah putra daerah ini juga. Mereka melakukan perkerjaan ini seperti orang-orang lain dengan profesi dan bidang masing-masing. Paling tidak dengan profesi ini dapat membantu pemerintah mengurangi pengangguran di pulau tercinta ini sekaligus memutar roda kehidupan buat keluarga meraka.
Pulau Bali sangat termasyhur sebagai salah satu tujuan wisata baik lokal maupun internasional. Bahkan, pulau ini sempat mendapat sampai 22 penghargaan kepariwisataan dunia dan beberapa kali terplih menjadi The Most Exotic Island in The World. Luar biasa.
Industri pariwisata juga berkembang sangat pesat. Pariwisata menjadi ujung tombak pendapatan daerah. Kue pariwisata sangat menggoda. Penikmat pariwisata Bali adalah pemain-pemain besar, sepeti pemilik hotel, bar, restoran, vila, dan semacamnya.
Menurut survei, aset-aset besar itu lebih banyak dimiliki pemilik modal dari luar Bali. Kebanyakan putra daerah hanya sebagai penonton budiman. Putra daerah duduk manis mengharapakan lowongan pekerjaan di bekas pekarangan mereka yang sudah disulap menjadi hotel bintang lima. Ironis!
Bali begitu indah, memesona, dan dikagumi di seluruh dunia. Karena apanya? Apakah karena pejabat pemerintahnya yang bebaju keren dengan mobil mentereng? Karena keindahan alamnya yang cantik dan memesona?
Kalau Bali terkenal karena alamnya, masih banyak tempat lain yang jauh lebih indah dari Bali. Bali justru dikenal karena keramahtamahan orang-orangn dan budayanya. Orang-orang Bali yang mempertahankan budayanya di deras pekembangan zaman dan kompetisi hidup yang semakin tajam. Dilematis.
Budaya Bali akan tetap ajeg dengan penerus budaya Bali masih berada di sekitarnya. Menangkapi mereka di setiap pojok jalan di tempat wisata sungguh sebuah ironi dan sangat tidak berbudaya. Kami guide freelance bukan penjahat!
Memang, jika mengikuti Peraturan Daerah (Perda) nomoro 10 tahun 2001, kendaraan pribadi tidak boleh dipergunakan sebagai angkutan wisata. Demikian pula dengan Perda nomor 5 tahun 2008 tentang Pramuwisata. Tapi pernahkah mereka memberikan solusi dengan adanya perda itu? Misalnya, dengan memberikan informasi yang jelas mengenai ketersediaan izin wisata bagi kendaraan angkutan.
Kami sebagai bagian dari pulau tercinta ini berhak menikmati kue pariwisata. Selama ini kami hanya sebagai obyek. Kami tidak minta banyak dan jangan hanya bisa memberikan sanksi. Berikan kami solusi. Kami bukan penjahat yang harus diadili.
Perlu pendekatan persuasif dan transparan serta pelatihan tentang pramuwisata. Pemerintah harus membuka peluang kerja baru bagi pramuwisata. Sekali-sekali, berpihaklah pada rakyat kecil bukan hanya pada pemilik modal besar. Aparat terkesan membiarkan yang ilegal beroperasi seperti biasa dan menjadikan mereka lahan praktik-praktik kolusi dan pungli.
Keberadaan guide freelance ini tidak lepas dari ketidakberesan sistem yang berlaku. Mereka sengaja dipelihara. Ujung-ujungnya, mereka jadi ajang kolusi dan pungli bagi oknum aparat. Dengan membiarkan kondisi seperti ini maka petugas memberikan ruang gerak bagi mereka sekaligus menjadi ladang bagi praktik pungli.
Apakah ini kesengajaan? Tanyakan pada rumput yang bergoyang. [b]