by Satria Mahendra
Sebenarnya saya sudah agak malas menulis soal transportasi online. Karena sebelumnya saya mengira pemerintah/otoritas terkait tidak paham wujud asli dari startup2 transportasi online (dan juga e-commerce) yg sejatinya mirip2 skema ponzi (menggunakan uang investor kedua untuk membayar keuntungan investor pertama, lalu menggunakan uang investor ketiga untuk membayar keuntungan investor kedua, dst. Detailnya pernah saya tulis satu setengah tahun yg lalu disini: https://www.facebook.com/satria.mahendra/…/10153669779028172) Tapi ternyata pemerintah tahu nature bisnis aslinya memang seperti itu. Sayangnya pemerintah malah mendukung dengan alasan mengembangkan ekonomi kreatif, inovasi teknologi, dsb. (https://kominfo.go.id/…/pemerintah-optimist…/0/sorotan_media).
Pemerintah dalam hal ini Kemkominfo tahu soal strategi exit melalui bursa saham, bahkan mendukung strategi exit tsb. Pemerintah bahkan mempermudah persyaratan startup untuk melantai di bursa. Jika perusahaan lain umumnya harus menyerahkan laporan keuangan 3 tahun terakhir, untuk startup hanya 1 tahun terakhir. Inilah yg bikin saya mulai malas membahas soal startup model begini. Karena Pemerintah yg saya harapkan dapat menjinakkan bom waktu yg suatu saat akan meledak ini, malah membiarkan bahkan merawat bom itu.
Namun berhubung di beberapa daerah (Jabar, Banyumas, Magelang, Batam, Yogya, Solo, Garut, Pekanbaru, Makassar, Medan, dan Tasikmalaya) Pemdanya justru melarang keberadaan transportasi online, membuat saya sedikit bersemangat untuk kembali menulis soal ini. Karena saya melihat, solusi yg diberikan oleh Pemda berupa pelarangan kurang tepat juga. Karena permasalahan sebenarnya dari transportasi online itu bukan pada keberadaannya, ataupun pada teknologi yg dipakai. Sekarang kan terkesan Pemda2 itu anti kemajuan teknologi, dianggap mundur kebelakang pemikirannya, padahal zaman makin maju. Kemajuan teknologi tidak mungkin dapat dibendung. Kitalah yg harus beradaptasi jika tidak mau digilas.
Mengatakan pemda2 tsb sebagai kolot, terbelakang, anti kemajuan teknologi dsb, hanya karena melarang keberadaan transportasi online sangatlah tidak tepat. Karena di beberapa negara maju pun terjadi pelarangan transportasi online seperti di beberapa kota di AS dan Kanada, Bulgaria, Denmark, Hungaria, Italia, Perancis, Spanyol, Belanda, Taiwan, Northern Territory - Australia, London-UK, dll (https://www.cntraveler.com/…/where-uber-is-banned-around-th…; http://www.news.com.au/…/n…/6dd3b48128316372a016379ad0437bf1)
Apakah mereka akan kita sebut kolot juga? Tentu tidak. Bahkan negara2 tersebut jauh lebih maju daripada kita. Lalu mengapa mereka melarangnya? Karena memang ada permasalahan mendasar yg membuat keberadaan transportasi online tersebut menyulut konflik horizontal dengan transportasi konvensional.
Permasalahan tersebut terletak bukan pada teknologinya namun pada SUBSIDI yang dijadikan strategi perusahaan transportasi online untuk merebut pangsa pasar transportasi konvensional.
SUBSIDI TARIF
Mungkin banyak orang yang tidak tahu mengapa tarif transportasi online bisa sangat murah dibandingkan transportasi konvensional. Ada juga sebagian yang berpendapat karena sharing economy yg membuat cost dapat ditekan sehingga harga menjadi murah. Namun faktanya bukan sharing economy yg membuat tarif mereka murah, melainkan SUBSIDI DRIVER (atau Subsidi Penumpang, tergantung sudut pandangnya).
Sebagai ilustrasi, jika anda membayar Rp.2500/km bukan berarti sejumlah itu pula yg didapat oleh driver. Driver sebenarnya mendapatkan Rp.4000/km (diluar bonus). Rp.2500 dari uang anda, Rp.1500nya dikreditkan oleh perusahaan ke rekening Driver. Inilah yg disebut SUBSIDI.
SUBSIDI inilah yg sebenarnya menggerakkan roda perusahaan transportasi online. Tanpa Subsidi, tarif mereka tidak akan murah karena driver pasti tidak mau dibayar murah. Sebaliknya jika tarif mahal, maka penumpang akan sepi.
Jadi SUBSIDI inilah yg sebenarnya menjadi biang masalah antara Transportasi Online dan Konvensional yg tidak mungkin memberikan subsidi karena itu sama artinya perusahaan merugi. Sedangkan perusahaan Transportasi Online, meskipun merugi, tapi mereka tidak ambil pusing selama suntikan modal dari venture capital/investor terus mengalir. Inilah yg disebut dengan Bakar-Bakar Uang. Istilah ini bukan karangan saya, tapi memang istilah resmi yg dipakai, bahkan salah satu parameter keberhasilan startup dimata investor adalah tingginya BURNING RATE.
Mungkin ada yg bertanya, darimana perusahaan transportasi online dapat untung jika mereka hanya bakar2 uang? Sebagaimana startup lainnya mereka akan mendapat untung setelah menjual perusahaannya kepada perusahaan lain (akuisisi) atau menjual sahamnya di bursa. "Tapi kan itu perusahaan merugi, emang ada yg mau beli?" Percaya tidak percaya, jawabannya ADA. Di bursa saham apalagi. Saya banyak menjumpai perusahaan yg merugi tiga tahun berturut namun bisa masuk bursa (IPO), dan luarbiasanya harga sahamnya langsung melejit hingga ribuan persen. Bahkan yang terbaru ada Startup KIOSON, startup pertama yg melantai di BEI, harga sahamnya sudah naik 1000% (atau sepuluh kali lipat) dari harga perdananya, hanya dalam waktu kurang dari 3 minggu. Dan sekarang masih terus naik. Padahal sejak berdiri 2015 dia merugi setiap tahun.
Jangan tanyakan pada saya mengapa ada orang yang mau membeli perusahaan yg tiga tahun merugi. Silahkan anda lihat fenomena demam anturium, arwana, batu akik, dsb., maka anda akan tahu jawabannya: GREED. Walaupun tidak menutup kemungkinan perusahaan yg sekarang merugi akan mencetak profit beberapa tahun yang akan datang, sehingga inilah yang menarik minat investor untuk berinvestasi di perusahaan yg sedang merugi. Namun bukan berarti tidak ada orang yg beli perusahaan tsb karena dilandasi faktor GREED semata, bahkan jika para trader saham mau jujur maka mereka akan menjawab bahwa motivasi utama mereka melakukan trading saham adalah karena faktor tsb.
Kembali ke soal SUBSIDI
UBER sebagai perusahaan transportasi Online terbesar di dunia, pada paruh pertama 2016 menghabiskan $1,27 Miliar (setara Rp 16,51 Triliun) hanya untuk SUBSIDI. (http://www.hybridcars.com/uber-loses-1-27-billion-as-drive…/)
GOJEK selama periode Oktober 2015-Maret 2016 menghabiskan $72,6 Juta (atau Rp943,8 Miliar) untuk SUBSIDI. (https://www.techinasia.com/gojeks-numbers-leaked)
Angka diatas hanya untuk periode 6 bulan. Bayangkan berapa banyak yg mereka habiskan untuk subsidi selama berapa tahun mereka telah beroperasi. Dan keduanya sampai sekarang masih membukukan laporan keuangan negatif alias merugi.
Sekarang mari kita pikirkan, mampukah perusahaan transportasi konvensional bersaing head to head dengan mereka jika mereka sendiri sanggup menanggung kerugian ratusan milyar hingga triliunan rupiah? Perusahaan transportasi konvensional mana yg siap menanggung kerugian sebesar itu demi mengalahkan transportasi online?
Jadi jangan pakai dalih "sharing economy", "disruptive innovation", "Adapt or Die", dan istilah2 "keren" lainnya. Karena bukan itu yg membuat GOJEK, UBER, GRAB mampu merebut pangsa pasar dari transportasi Konvensional. Mereka berhasil mencapai apa yg mereka capai sekarang semata2 karena mereka mampu bakar uang triliunan rupiah! TITIK.
BOM WAKTU
Sopir transportasi konvensional, Sopir transportasi online, dan para penumpang/masyarakat, semuanya adalah KORBAN (atau akan menjadi korban) dari ledakan bom waktu model bisnis transportasi online yg demikian.
Mengapa saya katakan begitu?
Mari kita prediksi apa yang akan terjadi di masa yang akan datang jika hal ini dibiarkan.
Mari kita prediksi apa yang akan terjadi di masa yang akan datang jika hal ini dibiarkan.
Pertama, angkutan konvensional akan bangkrut. Banyak sopir yg kehilangan sumber nafkah beserta keluarganya yg kehilangan sumber makan. Bukan karena mereka tidak mampu bersaing secara alami, namun karena diluar sana ada pemodal berkantong super tebal yang sedang bakar-bakar uang.
Kedua, setelah angkutan konvensional berhasil disingkirkan, tinggallah transportasi online menguasai/memonopoli pasar. Saat itulah mereka mulai memikirkan how to make profit. Caranya? Cabut SUBSIDI. Tarif akan dinaikkan ke level yg menguntungkan bagi perusahaan. Dan karena tidak ada aturan yg membatasi berapa tarif maksimal yg bisa mereka tetapkan, maka suka2 mereka mau pasang tarif berapa. Bisa saja lebih mahal dari transportasi konvensional. Dampaknya... Masyarakat dirugikan. Mau naik transportasi konvensional tidak bisa karena sudah tidak ada atau minimal susah dicari karena sudah pada bangkrut.
Bisa saja masyarakat menggunakan transportasi massal, tapi ini akan berdampak driver transportasi online kehilangan penumpang. Merekapun akhirnya dirugikan.
Jadi bagi anda yg sekarang merasa senang dengan keberadaan transportasi online bertarif murah itu, tunggulah masanya akan tiba dimana anda harus bayar mahal. Dan kepada driver online yg merasa pekerjaannya memberikan keamanan finansial, tunggulah waktunya ketika Subsidi anda dicabut.
SOLUSINYA
Sebenarnya solusi ini sudah pernah ada. Dulu sempat ada, sekarang tidak ada lagi. Apa itu? Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 26 Tahun 2017 yang didalamnya diatur soal batas bawah dan batas atas tarif transportasi online. Sayangnya Permenhub ini diuji materil ke MA oleh (katanya) para driver transportasi online. Mereka menolak adanya pembatasan tarif bawah!!
Bukankah ini aneh? Dimana2 pembatasan tarif bawah ditujukan untuk melindungi sopir agar tidak dibayar kemurahan oleh penumpangnya. Permenhub itu menetapkan tarif bawah Rp3500/km dan tarif atas Rp. 6000/km. Logikanya, para driver ini tidak ingin dibayar Rp. 3500, maunya mereka dibayar Rp 2500 atau bahkan Rp1.500. Aneh kan? Alasan penolakan mereka adalah penetapan batas bawah membuat mereka tidak bisa menetapkan harga yg lebih murah. Ini mereka katakan sendiri. (http://www.beritasatu.com/…/448528-ma-perintahkan-menhub-ca…).
Padahal, murahnya tarif online itu bukan karena cost yg murah, tapi karena SUBSIDI seperti yg telah diuraikan di atas. Makanya saya sendiri tidak yakin mereka itu menyuarakan aspirasi driver, tapi sepertinya mereka sedang menyuarakan aspirasi manajemen transportasi online yang ingin tetap merebut pangsa pasar transportasi dari perusahaan konvensional dengan cara bakar-bakar uang itu.
Sayangnya, MA mengabulkan gugatan tersebut!.
Saya yakin, di lapangan para driver yang sesungguhnya pasti akan lebih memilih dibayar Rp.3500 daripada Rp.2500. Selain ini sangat logis, ada bukti lainnya. Ketika beberapa waktu yg lalu manajemen Gojek memperbesar prosi bagi hasil utk perusahaan, banyak driver Gojek yg demo. Porsi mereka diperkecil aja mereka demo, maka tentu jika dikasih pilihan mau 3500 atau 2500, mereka pasti pilih yg pertama.
Sayangnya sekarang Driver Gojek tidak bisa demo lagi. Sudah dilarang sama manajemen. Barangsiapa yg demo, langsung dipecat! Ini ada dalam peraturan Gojek mengenai pelanggaran yg berakibat manual suspend no. 29 (https://driver.go-jek.com/…/115000020907-Jenis-jenis-Pelang…).
Buruh aja masih boleh mogok kerja, dan itu dilindungi UU. Driver Gojek malah demo aja gak boleh. Seperti itukah "Karya Anak Bangsa"?
image kompasiana |